Rabu, 16 September 2009

Cerita Pohon Apel & Anak Laki- Laki

Suatu ketika, hiduplah sebatang pohon apel besar dan anak lelaki yang senang bermain-main di bawah pohon apel itu setiap hari.

Ia senang memanjatnya hingga ke pucuk pohon, memakan buahnya, tidur-tiduran
di keteduhan rindang daun-daunnya. Anak lelaki itu sangat mencintai
pohon apel itu. Demikian pula pohon apel sangat mencintai anak kecil
itu. Waktu terus berlalu. Anak lelaki itu kini telah tumbuh besar dan
tidak lagi bermain-main dengan pohon apel itu setiap harinya.

Suatu
hari ia mendatangi pohon apel. Wajahnya tampak sedih. "Ayo ke sini
bermain-main lagi denganku," pinta pohon apel itu. "Aku bukan anak
kecil yang bermain-main dengan pohon lagi," jawab anak lelaki itu."Aku
ingin sekali memiliki mainan, tapi aku tak punya uang untuk membelinya."

Pohon
apel itu menyahut, "Duh, maaf aku pun tak punya uang... tetapi kau
boleh mengambil semua buah apelku dan menjualnya. Kau bisa mendapatkan
uang untuk membeli mainan kegemaranmu." Anak lelaki itu sangat senang.
Ia lalu memetik semua buah apel yang ada di pohon dan pergi dengan
penuh suka cita. Namun, setelah itu anak lelaki tak pernah datang lagi.
Pohon apel itu kembali sedih.

Suatu hari anak lelaki itu
datang lagi. Pohon apel sangat senang melihatnya datang. "Ayo
bermain-main denganku lagi," kata pohon apel. "Aku tak punya waktu,"
jawab anak lelaki itu. "Aku harus bekerja untuk keluargaku. Kami
membutuhkan rumah untuk tempat tinggal. Maukah kau menolongku?" Duh,
maaf aku pun tak memiliki rumah.

Tapi kau boleh menebang semua
dahan rantingku untuk membangun rumahmu," kata pohon apel. Kemudian
anak lelaki itu menebang semua dahan dan ranting pohon apel itu dan
pergi dengan gembira.Pohon apel itu juga merasa bahagia melihat anak
lelaki itu senang, tapi anak lelaki itu tak pernah kembali lagi. Pohon
apel itu merasa kesepian dan sedih.

Pada suatu musim panas, anak
lelaki itu datang lagi. Pohon apel merasa sangat bersuka cita
menyambutnya."Ayo bermain-main lagi denganku," kata pohon apel."Aku
sedih," kata anak lelaki itu."Aku sudah tua dan ingin hidup tenang. Aku
ingin pergi berlibur dan berlayar. Maukah kau memberi aku sebuah kapal
untuk pesiar?"

"Duh, maaf aku tak punya kapal, tapi kau boleh
memotong batang tubuhku dan menggunakannya untuk membuat kapal yang kau
mau. Pergilah berlayar dan bersenang-senanglah."

Kemudian, anak
lelaki itu memotong batang pohon apel itu dan membuat kapal yang
diidamkannya. Ia lalu pergi berlayar dan tak pernah lagi datang menemui
pohon apel itu.

Akhirnya, anak lelaki itu datang lagi setelah
bertahun-tahun kemudian. "Maaf anakku," kata pohon apel itu. "Aku sudah
tak memiliki buah apel lagi untukmu." "Tak apa. Aku pun sudah tak
memiliki gigi untuk mengigit buah apelmu," jawab anak lelaki itu.

"Aku
juga tak memiliki batang dan dahan yang bisa kau panjat," kata pohon
apel."Sekarang, aku sudah terlalu tua untuk itu," jawab anak lelaki
itu."Aku benar-benar tak memiliki apa-apa lagi yang bisa aku berikan
padamu. Yang tersisa hanyalah akar-akarku yang sudah tua dan sekarat
ini," kata pohon apel itu sambil menitikkan air mata.

"Aku tak memerlukan apa-apa lagi sekarang," kata anak lelaki.
"Aku
hanya membutuhkan tempat untuk beristirahat. Aku sangat lelah setelah
sekian lama meninggalkanmu." "Oooh, bagus sekali. Tahukah kau,
akar-akar pohon tua adalah tempat terbaik untuk berbaring dan
beristirahat. Mari, marilah berbaring di pelukan akar-akarku dan
beristirahatlah dengan tenang." Anak lelaki itu berbaring di pelukan
akar-akar pohon.

Pohon apel itu sangat gembira dan tersenyum sambil meneteskan air matanya.

Pohon apel itu adalah orang tua kita.

Ketika
kita muda, kita senang bermain-main dengan ayah dan ibu kita. Ketika
kita tumbuh besar, kita meninggalkan mereka, dan hanya datang ketika
kita memerlukan sesuatu atau dalam kesulitan. Tak peduli apa pun, orang
tua kita akan selalu ada di sana untuk memberikan apa yang bisa mereka
berikan untuk membuat kita bahagia. Anda mungkin berpikir bahwa anak
lelaki itu telah bertindak sangat kasar pada pohon itu, tetapi
begitulah cara kita memperlakukan orang tua kita.

Dan, yang
terpenting: cintailah orang tua kita.Sampaikan pada orang tua kita
sekarang, betapa kita mencintainya; dan berterima kasih atas seluruh
hidup yang telah dan akan diberikannya pada kita.

17 September

Hari saya sedang memposting cerita-cerita yang menurut saya sangat berkesan.sengaja saya memposting ke blog saya,agar disaat saya ingin menangis saya tinggal membuka blog terus membaca kisah -kisah ini.hampir disemua kisah yang saya baca pasti berakhir dengan cucuran air mata.disetiap kisah diri saya selalu merasa diingatkan akan sesuatu,entah itu kehidupan saya dengan pasangan ataupun kehidupan sepiritual saya dengan sang pencipta,ada juga kisah yang mengigatkan saya bahwa dengan kita memberi kita akan mendapatkan ketenanagan hati dan kedaimaian jiwa.

Kita sering mengacuhkan kebutuhhan hati kita,kita selalu sibuk dengan urusan raga kita,tanpa kita menyadari bahwa hati kita jiwa kita membutuhkan makanan,makanan yang akan membuat hati,jiwa kita merasa damai.semoga dengan kisah-kisah ini hati kita akan kenyang dengan kebajikan,sudah terlalu bayak pelajaran yang dapat kita petik dari pengalaman orang lain jangan pernah kita menutup mata bahkan hati jiwa kita,sehingga kita masih sering tersesat kejalan gelap yang tak berujung.

Saya selalu ingat kata-kata bijak motivator Mario Teguh"Bahwa tidaklah mungkin Tuhan menciptakan Manusia yang tanpa guna"Jadi setiap manusia pasti memiliki kegunaan dalam hidupnya,tinggal bagaimana kita menggunakan kehidupan kita untuk menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan tuhan kepada kita,apakah kita akan berhasil dalam hidup atau kita akan terpuruk,tergantung kita akan bawa kemana hati ini kejalanya-Nya atau malah ke Murka-Nya.

Jalanilah hidup ini dengan kesadaran penuh bahwa apaupun yang terjadi adalah kehendak Tuhan.setiap saya bedoa saya akan selalu berdoa "Ya Tuhan Kehendakilah Hambamu ini menjadi seorang Hamba yang patuh kepada-Mu,Dan jangan Engkau Mengkehendaki Hambamu yang hina ini menjadi seorang hamba yang melupakan bahwa kehidupan ini adalah atas campur tangan-mu.

Selalu bersyukurlah sampai saat ini kita masih diberikan kehipuan,dan janganlah kita semua menyia-nyiakan kehidupan yang diberikan Tuhan kepada kita.Tuhan memberikan kehidupan ini kepada kita senantiasa hanya untuk memuliakan manusia,dan setiap manusia akan mulia hanya jika dia mau bersyukur,dan disetiap syukur kita tedapat didalam sebuah ibadah,ibadah yang akan menhubungkan hati kita dengan Sang pencipta.hati kita selalu membutuhkan komunikasi dengan sang tuanya sang penciptanya.Maka janganlah kita sering mulupaka komunikasi dengan Tuhan,Tuhan sang pencipta alam dan seisinya.

Mawar Kuning

Aku masuk ke sebuah supermarket tanpa ada niat untuk membeli sesuatu. Akupun tidak lapar. Rasa pedih karena ditinggalkan suami yang tercinta yang baru meninggal dalam usia 37 tahun masih amat terasa. Dan supermarket ini mengandung begitu banyak kenang-kenangan yang manis.

Pasalnya, waktu masih hidup, Rudy seringkali menemaniku ke supermarket ini. Setiap kali ia berpura-pura memisahkan diri dariku dengan alasan untuk mencari sesuatu yang khusus. Aku tahu apa maksudnya. Aku hampir selalu menemukan dia berjalan di lorong toko dengan tiga tangkai bunga mawar berwarna kuning dalam tangannya.

Rudy tahu bahwa aku amat suka dengan bunga mawar kuning.

Dengan hati dipenuhi kepedihan, aku hendak membeli beberapa barang keperluan dan selanjutnya meninggalkan toko itu. Pasalnya, berbelanja di toko menjadi berbeda sekali setelah ditinggalkan suami terkasih.

Sambil berdiri di dekat penjualan daging, aku mencari sebungkus daging steak yang sempurna dan langsung ingat, betapa Rudy suka makan steak.

Tiba-tiba seorang wanita datang di sampingku. Rambutnya pirang, langsing dan manis dengan pakaiannya yang berwarna hijau muda. Aku mengamati, ketika ia mengambil sebungkus T-bone steak yang besar dan meletakkannya ke dalam keranjangnya. Kemudian, ia menjadi ragu-ragu, dan mengeluarkan lagi T-bone steaknya dari keranjangnya. Ia memutar balik untuk meninggalkannya, namun kemudian mengambil lagi sebungkus T-bone steaknya.

Ia tahu bahwa saya sedang mengamatinya lalu berkata dengan senyum, “Suamiku amat suka T-Bone steak, namun, terus terang, mengingat harga-harganya, aku tak tahu”

Aku menelan emosiku kembali dan menatap matanya yang biru muda. “Suamiku baru meninggal delapan hari yang lalu,” aku bercerita kepadanya. Dengan menatap bungkusan steak yang berada dalam tangannya, aku bergumul untuk menguasai emosi dalam suaraku dan berkata, “Belilah steak itu untuk suamimu. Dan nikmatilah setiap saat selama Anda berdua masih dapat bersama”.

Ia menggeleng-gelengkan kepalanya dan aku melihat emosi melalui matanya, ketika ia akhirnya meletakkan bungkusan steak itu di keranjangnya lalu kemudian pergi. Aku juga berbalik dan menuju ke produk susu. Di sana aku berdiri untuk mengambil keputusan apakah akan membeli susu murni yang sebanyak seperempat liter atau lebih. Kemudian aku menuju ke bagian es krim. Setelah meletakkan es krimnya dalam keretaku, aku menuju ke depan ke bagian kasir.

Aku melihat terlebih dulu pakainnya yang berwarna hijau muda itu untuk kemudian mengenali wanita itu yang sedang menuju ke arahku. Dalam lengannya ia membawa suatu bungkusan. Di wajahnya terlihat senyuman manis yang amat menawan. Ia terus mendekatiku sambil menatap aku sampai ke dalam mataku. Ketika dia lebih mendekat, aku melihat apa yang berada di lengannya dan air mata mulai membuat pandanganku kabur.

“Ini untukmu,” katanya sambil meletakkan tiga tangkai bunga mawar kuning yang panjang di dalam pelukan lenganku.

“Bila Anda sampai di bagian kasir, mereka tahu bahwa bunga-bunga itu sudah saya bayar.”

Ia mencondongkan diri ke depan dan menciumku di pipi, kemudian tersenyum lagi. Ku ingin bertanya kepadanya apa yang ia lakukan dan apa arti bunga mawar bagiku, namun aku tak mampu mengeluarkan sepatah katapun, dan ketika ia meninggalkan aku, air-mataku mengaburkan pandanganku.

Aku mengamati bunga-bunga mawar yang indah itu yang terletak di dalam bungkus yang hijau dan semuanya kelihatannya begitu tak realistis. Bagaimana dia bisa mengetahuinya?

Tiba-tiba jawabannya begitu jelas. Aku tidak sendirian. “O, Rudy, kamu tidak melupakan aku, bukan?”, bisikku dengan disertai tetesan air dalam mataku.

Ia masih berada di sampingku dan wanita itu adalah malaikatnya. Bersyukurlah setiap hari akan apa yang kaumiliki dan siapakah Anda.


MISS KOMUNIKASI YG MENGHANCURKAN SEGALANYA … (true story)

Cerita ini sungguh mengandung pesan2 moral pada kita, khususnya bagi mereka yang telah berumah tangga, bahwa menjaga hubungan dan keharmonisan tidaklah semudah membalik telapak tangan. Dikarenakan ego masing2 yg tidak mau mengalah, kurangnya komunikasi dan pengertian dari masing2 pasangan, sikap tidak mau saling memaafkan justru berdampak pada kehancuran masa depan dan kebahagiaan yang seharusnya dapat mereka lewati bersama …

Kisah ini adalah kisah sedih sepasang suami istri dari Cina, sebuah kisah nyata yang diceritakan oleh Lu Di dan di edit oleh Lian Shu Xiang.

Sebuah salah pengertian yang mengakibatkan kehancuran sebuah rumah tangga.
Tatkala nilai akhir sebuah kehidupan sudah terbuka, tetapi segalanya sudah terlambat
.

Membawa nenek untuk tinggal bersama menghabiskan masa tuanya bersama kami, malah telah mengkhianati ikrar cinta yang telah kami buat selama ini. Setelah 2 tahun menikah, saya dan suami setuju menjemput nenek di kampung untuk tinggal bersama. Sejak kecil suami saya telah kehilangan ayahnya, dia adalah satu-satunya harapan nenek, nenek pula yang membesarkannya dan menyekolahkan dia hingga tamat kuliah.

Saya terus mengangguk tanda setuju, kami segera menyiapkan sebuah kamar yang menghadap taman untuk nenek, agar dia dapat berjemur, menanam bunga dan sebagainya. Suamiku berdiri di depan kamar yang sangat kaya dengan sinar matahari, tidak sepatah katapun yang terucap tiba-tiba saja dia mengangkat saya dan memutar-mutar saya seperti adegan dalam film India dan berkata, “Mari,kita jemput nenek di kampung”.

Suamiku berbadan tinggi besar, aku suka sekali menyandarkan kepalaku ke dadanya yang bidang, ada suatu perasaan nyaman dan aman di sana. Aku seperti sebuah boneka kecil yang kapan saja bisa diangkat dan dimasukan ke dalam kantongnya. Kalau terjadi selisih paham di antara kami, dia suka tiba-tiba mengangkatku tinggi-tinggi di atas kepalanya dan diputar-putar sampai aku berteriak ketakutan baru diturunkan. Aku sungguh menikmati saat-saat seperti itu.

Kebiasaan nenek di kampung tidak berubah.
Aku suka sekali menghias rumah dengan bunga segar,sampai akhirnya nenek tidak tahan lagi dan berkata kepada suamiku, “Istri kamu hidup foya-foya, buat apa beli bunga? Kan bunga tidak bisa dimakan?”
Aku menjelaskannya kepada nenek, “Ibu, rumah dengan bunga segar membuat rumah terasa lebih nyaman dan suasana hati lebih gembira.” Nenek berlalu sambil mendumel, suamiku berkata sambil tertawa, “Ibu, ini kebiasaan orang kota, lambat laun ibu akan terbiasa juga.”
Nenek tidak protes lagi, tetapi setiap kali melihatku pulang sambil membawa bunga, dia tidak bisa menahan diri untuk bertanya berapa harga bunga itu, setiap mendengar jawabanku dia selalu mencibir sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Setiap membawa pulang barang belanjaan, dia selalu tanya itu berapa harganya, ini berapa. Setiap aku jawab, dia selalu berdecak dengan suara keras. Suamiku memencet hidungku sambil berkata, “Putriku, kan kamu bisa berbohong. Jangan katakan harga yang sebenarnya.”flower 1
Lambat laun, keharmonisan dalam rumah tanggaku mulai terusik.
Nenek sangat tidak bisa menerima melihat suamiku bangun pagi menyiapkan sarapan pagi untuk dia sendiri, di mata nenek seorang anak laki-laki masuk ke dapur adalah hal yang sangat memalukan.

Di meja makan, wajah nenek selalu cemberut dan aku sengaja seperti tidak mengetahuinya.
Nenek selalu membuat bunyi-bunyian dengan alat makan seperti sumpit dan sendok, itulah cara dia protes. Aku adalah instrukstur tari, seharian terus menari membuat badanku sangat letih, aku tidak ingin membuang waktu istirahatku dengan bangun pagi apalagi di saat musim dingin.

Nenek kadang juga suka membantuku di dapur, tetapi makin dibantu aku menjadi semakin repot, misalnya; dia suka menyimpan semua kantong-kantong bekas belanjaan, dikumpulkan bisa untuk dijual katanya. Jadilah rumahku seperti tempat pemulungan kantong plastik, di mana-mana terlihat kantong plastik besar tempat semua kumpulan kantong plastik.

Kebiasaan nenek mencuci piring bekas makan tidak menggunakan cairan pencuci, agar dia tidak tersinggung, aku selalu mencucinya sekali lagi pada saat dia sudah tidur.
Suatu hari, nenek mendapati aku sedang mencuci piring malam harinya, dia segera masuk ke kamar sambil membanting pintu dan menangis.
Suamiku jadi serba salah, malam itu kami tidur seperti orangbisu, aku coba bermanja-manja dengan dia, tetapi dia tidak perduli.

Aku menjadi kecewa dan marah.

“Apa salahku?”

Dia melotot sambil berkata, “Kenapa tidak kamu biarkan saja? Apakah makan dengan piring itu bisa membuatmu mati?”

Aku dan nenek tidak bertegur sapa untuk waktu yg cukup lama, suasana mejadi kaku.
Suamiku menjadi sangat kikuk, tidak tahu harus berpihak pada siapa?
Nenek tidak lagi membiarkan suamiku masuk ke dapur, setiap pagi dia selalu bangun lebih pagi dan menyiapkan sarapan untuknya, suatu kebahagiaan terpancar di wajahnya jika melihat suamiku makan dengan lahap, dengan sinar mata yang seakan mencemoohku sewaktu melihat padaku, seakan berkata, “Dimana tanggung jawabmu sebagai seorang istri?”

Demi menjaga suasana pagi hari tidak terganggu, aku selalu membeli makanan diluar pada saat berangkat kerja. Saat tidur, suami berkata, “Lu Di, apakah kamu merasa masakan ibu tidak enak dan tidak bersih sehingga kamu tidak pernah makan di rumah?”
Sambil memunggungiku dia berkata tanpa menghiraukan air mata yg mengalir di kedua belah pipiku.
Dan dia akhirnya berkata, “Anggaplah ini sebuah permintaanku, makanlah bersama kami setiap pagi.”
Aku mengiyakannya dan kembali ke meja makan yang serba canggung itu.

Pagi itu nenek memasak bubur, kami sedang makan dan tiba-tiba ada suatu perasaan yang sangat mual menimpaku, seakan- akan isi perut mau keluar semua.
Aku menahannya sambil berlari ke kamar mandi, sampai di sana aku segera mengeluarkan semua isi perut.

grandma cryingSetelah agak reda, aku melihat suamiku berdiri didepan pintu kamar mandi dan memandangku dengan sinar mata yang tajam, di luar sana terdengar suara tangisan nenek dan berkata-kata dengan bahasa daerahnya. Aku terdiam dan terbengong tanpa bisa berkata-kata.
Sungguh bukan sengaja aku berbuat demikian!
Pertama kali dalam perkawinanku, aku bertengkar hebat dengan suamiku, nenek melihat kami dengan mata merah dan berjalan menjauh. Suamiku segera mengejarnya keluar rumah.

Menyambut anggota baru tetapi dibayar dengan nyawa nenek. Selama 3 hari suamiku tidak pulang ke rumah dan tidak juga meneleponku. Aku sangat kecewa, semenjak kedatangan nenek di rumah ini, aku sudah banyak mengalah, mau bagaimana lagi?

Entah kenapa aku selalu merasa mual dan kehilangan nafsu makan ditambah lagi dengan keadaan rumahku yang kacau, sungguh sangat menyebalkan.
Akhirnya teman sekerjaku berkata, “Lu Di, sebaiknya kamu periksa ke dokter.”
Hasil pemeriksaan menyatakan aku sedang hamil.
Aku baru sadar mengapa aku mual-mual pagi itu.
Sebuah berita gembira, yang juga terselip kesedihan.
Mengapa suami dan nenek sebagai orang yang berpengalaman tidak berpikir sampai sejauh itu?

Di pintu masuk rumah sakit aku melihat suamiku, 3 hari tidak bertemu dia berubah drastis, muka kusut kurang tidur, aku ingin segera berlalu tetapi rasa iba membuatku tertegun dan memanggilnya.
Dia melihat ke arahku tetapi seakan-akan tidak mengenaliku lagi, pandangan matanya penuh dengan kebencian dan itu melukaiku.

Aku berkata pada diriku sendiri, jangan lagi melihatnya dan segera memanggil taksi.

Padahal aku ingin memberitahunya bahwa kami akan segera memiliki seorang anak. Dan berharap aku akan diangkatnya tinggi-tinggi dan diputar-putar sampai aku minta ampun tetapi…… mimpiku tidak menjadi kenyataan. Di dalam taksi air mataku mengalir dengan deras. Mengapa kesalahpahaman ini berakibat sangat buruk?

Sampai di rumah aku berbaring di ranjang memikirkan peristiwa tadi, memikirkan sinar matanya yang penuh dengan kebencian, aku menangis dengan sedihnya.
Tengah malam, aku mendengar suara orang membuka laci, aku menyalakan lampu dan melihat dia dengan wajah berlinang air mata sedang mengambil uang dan buku tabungannya. Aku menatapnya dengan dingin tanpa berkata-kata. Dia seperti tidak melihatku saja dan segera berlalu.

Sepertinya dia sudah memutuskan utk meninggalkan aku.
Sungguh lelaki yang sangat picik, dalam saat begini dia masih bisa membedakan antara cinta dengan uang. Aku tersenyum sambil menitikkan air mata.

Aku tidak masuk kerja keesokan harinya, aku ingin secepatnya membereskan masalah ini, aku akan membicarakan semua masalah ini dan pergi mencarinya di kantornya.

Di kantornya aku bertemu dengan sekretarisnya yang melihatku dengan wajah bingung.

“Ibunya pak direktur baru saja mengalami kecelakaan lalu lintas dan sedang berada di rumah sakit.”

Mulutku terbuka lebar. Aku segera menuju rumah sakit dan saat menemukannya, nenek sudah meninggal.
Suamiku tidak pernah menatapku, wajahnya kaku. Aku memandang jasad nenek yang terbujur kaku. Sambil menangis, aku menjerit dalam hati, “Tuhan, mengapa ini bisa terjadi?”

Sampai selesai upacara pemakaman, suamiku tidak pernah bertegur sapa denganku, jika memandangku selalu dengan pandangan penuh kebencian.

Peristiwa kecelakaan itu aku juga tahu dari orang lain, pagi itu nenek berjalan ke arah terminal, rupanya dia mau kembali ke kampung.

Suamiku mengejar sambil berlari, nenek juga berlari makin cepat sampai tidak melihat sebuah bus yang datang ke arahnya dengan kencang.

Aku baru mengerti mengapa pandangan suamiku penuh dengan kebencian. Jika aku tidak muntah pagi itu, jika kami tidak bertengkar, jika… dimatanya, akulah penyebab kematian nenek.

Suamiku pindah ke kamar nenek, setiap malam pulang kerja dengan badan penuh dengan bau asap rokok dan alkohol. Aku merasa bersalah tetapi juga merasa harga diriku terinjak-injak. Aku ingin menjelaskan bahwa semua ini bukan salahku dan juga memberitahunya bahwa kami akan segera mempunyai anak.

Tetapi melihat sinar matanya, aku tidak pernah menjelaskan masalah ini. Aku rela dipukul atau dimaki-maki olehnya walaupun ini bukan salahku.pregnant

Waktu berlalu dengan sangat lambat. Kami hidup serumah tetapi seperti tidak mengenal satu sama lain.
Dia pulang makin larut malam. Suasana tegang di dalam rumah.Suatu hari, aku berjalan melewati sebuah cafe, melalui keremangan lampu dan kisi-kisi jendela, aku melihat suamiku dengan seorang wanita didalam. Dia sedang menyibak rambut sang gadis dengan mesra.
Aku tertegun dan mengerti apa yg telah terjadi.Aku masuk kedalam dan berdiri di depan mereka sambil menatap tajam kearahnya. Aku tidak menangis, juga tidak berkata apapun karena aku juga tidak tahu harus berkata apa. Sang gadis melihatku dan ke arah suamiku, dan segera hendak berlalu.

Tetapi dicegah oleh suamiku dan menatap kembali ke arahku dengan sinar mata yg tidak kalah tajam dariku. Suara detak jantungku terasa sangat keras, setiap detak suara seperti suara menuju kematian.

Akhirnya aku mengalah dan berlalu dari hadapan mereka, jika tidak.. mungkin aku akan jatuh bersama bayiku di hadapan mereka.

Malam itu dia tidak pulang ke rumah. Seakan menjelaskan padaku apa yang telah terjadi. Sepeninggal nenek, rajutan cinta kasih kami juga sepertinya telah berakhir.

Dia tidak kembali lagi ke rumah, kadang sewaktu pulang ke rumah, aku mendapati lemari seperti bekas dibongkar. Aku tahu, dia kembali mengambil barang-barang keperluannya. Aku tidak ingin menelepon dia, walaupun kadang terbersit suatu keinginan untuk menjelaskan semua ini

Tetapi, itu tidak terjadi….. Semua berlalu begitu saja. Aku mulai hidup seorang diri, pergi check kandungan seorang diri. Setiap kali melihat sepasang suami istri sedang check kandungan bersama, hati ini serasa hancur.

Teman- teman menyarankan agar aku membuang saja bayi ini, tetapi aku seperti orang yang sedang histeris mempertahankan miliknya. Hitung-hitung sebagai pembuktian kepada nenek bahwa aku tidak bersalah.

Suatu hari sepulang kerja, aku melihat dia duduk di depan ruang tamu. Ruangan penuh dengan asap rokok dan ada selembar kertas di atas meja, tidak perlu tanya aku juga tahu surat apa itu.

2 bulan hidup sendiri, aku sudah bisa mengontrol emosi. Sambil membuka mantel dan topi aku berkata kepadanya, “Tunggu sebentar, aku akan segera menanda tanganinya.” Dia melihatku dengan pandangan awut-awutan, demikian juga aku.

Aku berkata pada diri sendiri, jangan menangis, jangan menangis. Mata ini terasa sakit sekali, tetapi aku terus bertahan agar air mata ini tidak keluar.

Selesai membuka mantel, aku berjalan ke arahnya dan ternyata dia memperhatikan perutku yang agak membuncit. Sambil duduk di kursi, aku menanda tangani surat itu dan menyodorkan kepadanya.

“Lu Di, kamu hamil?” Semenjak nenek meninggal, itulah pertama kali dia berbicara kepadaku. Aku tidak bisa lagi membendung air mataku yang menglir keluar dengan derasnya.

Aku menjawab, “Ya, tetapi tidak apa-apa. Kamu sudah boleh pergi.” Dia tidak pergi, dalam keremangan ruangan kami saling berpandangan.

Perlahan-lahan dia membungkukan badannya ke tanganku, air matanya terasa menembus lengan bajuku. Tetapi di lubuk hatiku, semua sudah berlalu, banyak hal yang sudah pergi dan tidak bisa diambil kembali.

Entah sudah berapa kali aku mendengar dia mengucapkan kata, “Maafkan aku, maafkan aku”. Aku pernah berpikir untuk memaafkannya, tetapi tidak bisa.

Tatapan matanya di cafe itu tidak akan pernah aku lupakan. Cinta di antara kami telah ada sebuah luka yang menganga. Semua ini adalah sebuah akibat kesengajaan darinya. Berharap dinding es itu akan mencair, tetapi yang telah berlalu tidak akan pernah kembali.

Hanya sewaktu memikirkan bayiku, aku bisa bertahan untuk terus hidup.

Terhadapnya, hatiku dingin bagaikan es, tidak pernah menyentuh semua makanan pembelian dia, tidak menerima semua hadiah pemberiannya, tidak juga berbicara lagi dengannya.

Sejak menanda tangani surat itu, semua cintaku padanya sudah berlalu, harapanku telah lenyap tidak berbekas.

Kadang dia mencoba masuk ke kamar untuk tidur bersamaku, aku segera berlalu ke ruang tamu, dia terpaksa kembali ke kamar nenek. Malam hari, terdengar suara orang mengerang dari kamar nenek, tetapi aku tidak perduli. Itu adalah permainan dia dari dulu.

Jika aku tidak perduli padanya, dia akan berpura-pura sakit sampai aku menghampirinya dan bertanya apa yang sakit. Dia lalu akan memelukku sambil tertawa terbahak-bahak.

Dia lupa…….. itu adalah dulu, saat cintaku masih membara, sekarang apa lagi yang aku miliki?

Begitu seterusnya, setiap malam aku mendengar suara orang mengerang sampai anakku lahir.

Hampir setiap hari dia selalu membeli barang-barang perlengkapan bayi, perlengkapan anak-anak dan buku-buku bacaan untu kanak-anak. Setumpuk demi setumpuk sampai kamarnya penuh sesak dengan barang-barang. Aku tahu dia mencoba menarik simpatiku, tetapi aku tidak bergeming.

Terpaksa dia mengurung diri di dalam kamar. Malam hari dari kamarnya selalu terdengar suara pencetan keyboard komputer. Mungkin dia lagi tergila-gila chatting dan berpacaran di dunia maya pikirku.

Bagiku itu bukan lagi suatu masalah. Suatu malam di musim semi, perutku tiba-tiba terasa sangat sakit dan aku berteriak dengan suara yang keras.

Dia segera berlari masuk ke kamar, sepertinya dia tidak pernah tidur. Saat inilah yang ditunggu-tunggu olehnya. Aku digendongnya dan berlari mencari taksi ke rumah sakit. Sepanjang jalan, dia mengenggam dengan erat tanganku, menghapus keringat dingin yang mengalir di dahiku.

Sampai di rumah sakit, aku segera digendongnya menuju ruang bersalin. Di tubuhnya yang kurus kering, aku terbaring dengan hangat dalam dekapannya. Sepanjang hidupku, siapa lagi yang mencintaiku sedemikian rupa jika bukan dia?

Sampai di pintu ruang bersalin, dia memandangku dengan tatapan penuh kasih sayang saat aku didorong menuju persalinan, sambil menahan sakit aku masih sempat tersenyum padanya. Keluar dari ruang bersalin, dia memandang aku dan anakku dengan wajah penuh dengan air mata sambil tersenyum bahagia.

Aku memegang tanganya, dia membalas memandangku dengan bahagia, tersenyum dan menangis lalu terjerambab ke lantai.

Aku berteriak histeris memanggil namanya.

Setelah sadar,dia tersenyum tetapi tidak bisa membuka matanya…Aku pernah berpikir tidak akan lagi meneteskan sebutir air matapun untuknya, tetapi kenyataannya tidak demikian, aku tidak pernah merasakan sesakit saat ini.

Kata dokter, kanker hatinya sudah sampai pada stadium mematikan, bisa bertahan sampai hari ini sudah merupakan sebuah mujizat. Aku bertanya kapan kanker itu terdeteksi?

5 bulan yang lalu kata dokter, bersiap-siaplah menghadapi kemungkinan terburuk. Aku tidak lagi peduli dengan nasehat perawat, aku segera pulang ke rumah dan masuk ke kamar nenek lalu menyalakan komputer.

Ternyata selama ini suara orang mengerang adalah benar apa adanya, aku masih berpikir dia sedang bersandiwara. … Sebuah surat yang sangat panjang ada di dalam komputer yang ditujukan kepada anak kami.

“Anakku, demi dirimu aku terus bertahan, sampai aku bisa melihatmu… itu adalah harapanku.
Aku tahu dalam hidup ini, kita akan menghadapi semua bentuk kebahagiaan dan kekecewaan, sungguh bahagia jika aku bisa melaluinya bersamamu, tetapi ayah tidak mempunyai kesempatan untuk itu. Di dalam komputer ini, ayah mencoba memberikan saran dan nasehat terhadap segala kemungkinan hidup yang akan kamu hadapi. Kamu boleh mempertimbangkan saran ayah.”
Anakku, selesai menulis surat ini, ayah merasa telah menemanimu hidup selama bertahun -tahun.

Ayah sungguh bahagia.

Cintailah ibumu, dia sungguh menderita, dia adalah orang yang paling mencintaimu dan adalah orang yang paling ayah cintai”.

Mulai dari kejadian yang mungkin akan terjadi sejak TK, SD, SMP, SMA sampai kuliah, semua tertulis dengan lengkap di dalamnya.

Dia juga menulis sebuah surat untukku.

“Kasihku… dapat menikahimu adalah hal yang paling bahagia aku rasakan dalam hidup ini.

Maafkan salahku, maafkan aku tidak pernah memberitahumu tentang penyakitku. Aku tidak mau kesehatan bayi kita terganggu oleh karenanya.

Kasihku, jika engkau menangis sewaktu membaca surat ini, berarti kau telah memaafkanku. Terima kasih atas cintamu padaku selama ini. Aku tidak punya kesempatan untuk memberikan hadiah-hadiah ini pada anak kita.

Pada bungkusan hadiah tertulis semua tahun pemberian padanya.”

Kembali ke rumah sakit, suamiku masih terbaring lemah.

Aku menggendong anak kami dan membaringkannya di atas dadanya sambil berkata, “Sayang, bukalah matamu sebentar saja, lihatlah anak kita. Aku mau dia merasakan kasih sayang dan hangatnya pelukan ayahnya”.

Dengan susah payah dia membuka matanya, tersenyum….. anak itu tetap dalam dekapannya, dengan tangannya yang mungil memegangi tangan ayahnya yang kurus dan lemah.

Tidak tahu aku sudah menjepret berapa kali momen itu dengan kamera di tangan sambil berurai air mata….

Teman2 terkasih, aku berbagi cerita ini kepada kalian, agar kita semua bisa menyimak pesan dari cerita ini.

Berhati-hatilah dengan apa yg kita ucapkan dan kita perbuat, sebelum segalanya menjadi terlambat, pikirlah masak-masak semua yang akan kita lakukan sebelum kita menyesalinya seumur hidup.

Kiasah gadis kecil Yu Yuan

Kisah tentang seorang gadis kecil yang cantik yang memiliki sepasang bola mata yang indah dan hati yang lugu polos. Dia adalah seorang yatim piatu dan hanya sempat hidup di dunia ini selama delapan tahun. Satu kata terakhir yang ia tinggalkan adalah saya pernah datang dan saya sangat penurut.

Anak ini rela melepasakan pengobatan, padahal sebelumnya dia telah memiliki dana pengobatan sebanyak 540.000 dolar yang didapat dari perkumpulan orang Chinese seluruh dunia. Dan membagi dana tersebut menjadi tujuh bagian, yang dibagikan kepada tujuh anak kecil yang juga sedang berjuang menghadapi kematian. Dan dia rela melepaskan pengobatannya.

Begitu lahir dia sudah tidak mengetahui siapa orang tua kandungnya. Dia hanya memiliki seorang papa yang mengadopsinya. Papanya berumur 30 tahun yang bertempat tinggal di provinsi She Cuan kecamatan Suang Liu, kota Sang Xin Zhen Yun Ya Chun Er Cu. Karena miskin, maka selama ini ia tidak menemukan pasangan hidupnya. Kalau masih harus mengadopsi anak kecil ini, mungkin tidak ada lagi orang yang mau dilamar olehnya. Pada tanggal 30 November 1996, tgl 20 bln 10 imlek, adalah saat dimana papanya menemukan anak kecil tersebut diatas hamparan rumput, disanalah papanya menemukan seorang bayi kecil yang sedang kedinginan. Pada saat menemukan anak ini, di dadanya terdapat selembar kartu kecil tertulis, 20 November jam 12.

Melihat anak kecil ini menangis dengan suara tangisannya sudah mulai melemah. Papanya berpikir kalau tidak ada orang yang memperhatikannya, maka kapan saja bayi ini bisa meninggal. Dengan berat hati papanya memeluk bayi tersebut, dengan menghela nafas dan berkata, “saya makan apa, maka kamu juga ikut apa yang saya makan”. Kemudian papanya memberikan dia nama Yu Yan.

Ini adalah kisah seorang pemuda yang belum menikah yang membesarkan seorang anak, tidak ada Asi dan juga tidak mampu membeli susu bubuk, hanya mampu memberi makan bayi tersebut dengan air tajin (air beras). Maka dari kecil anak ini tumbuh menjadi lemah dan sakit-sakitan. Tetapi anak ini sangat penurut dan sangat patuh. Musim silih berganti, Yu Yuan pun tumbuh dan bertambah besar serta memiliki kepintaran yang luar biasa. Para tetangga sering memuji Yu Yuan sangat pintar, walaupun dari kecil sering sakit-sakitan dan mereka sangat menyukai Yu Yuan. Ditengah ketakutan dan kecemasan papanya, Yu Yuan pelan-pelan tumbuh dewasa.

Yu Yuan yang hidup dalam kesusahan memang luar biasa, mulai dari umur lima tahun, dia sudah membantu papa mengerjakan pekerjaan rumah. Mencuci baju, memasak nasi dan memotong rumput. Setiap hal dia kerjakan dengan baik. Dia sadar dia berbeda dengan anak-anak lain. Anak-anak lain memiliki sepasang orang tua, sedangkan dia hanya memiliki seorang papa. Keluarga ini hanya mengandalkan dia dan papa yang saling menopang. Dia harus menjadi seorang anak yang penurut dan tidak boleh membuat papa menjadi sedih dan marah.

Pada saat dia masuk sekolah dasar, dia sendiri sudah sangat mengerti, harus giat belajar dan menjadi juara di sekolah. Inilah yang bisa membuat papanya yang tidak berpendidikan menjadi bangga di desanya. Dia tidak pernah mengecewakan papanya, dia pun bernyanyi untuk papanya. Setiap hal yang lucu yang terjadi di sekolahnya di ceritakan kepada papanya. Kadang-kadang dia bisa nakal dengan mengeluarkan soal-soal yang susah untuk menguji papanya.

Setiap kali melihat senyuman papanya, dia merasa puas dan bahagia. Walaupun tidak seperti anak-anak lain yang memiliki mama, tetapi bisa hidup bahagia dengan papa, ia sudah sangat berbahagia.

Mulai dari bulan Mei 2005 Yu Yuan mulai mengalami mimisan. Pada suatu pagi saat Yu Yuan sedang mencuci muka, ia menyadari bahwa air cuci mukanya sudah penuh dengan darah yang ternyata berasal dari hidungnya. Dengan berbagai cara tidak bisa menghentikan pendarahan tersebut. Sehingga papanya membawa Yu Yuan ke puskesmas desa untuk disuntik. Tetapi sayangnya dari bekas suntikan itu juga mengerluarkan darah dan tidak mau berhenti. Dipahanya mulai bermunculan bintik-bintik merah. Dokter tersebut menyarankan papanya untuk membawa Yu Yuan ke rumah sakit untuk diperiksa. Begitu tiba di rumah sakit, Yu Yuan tidak mendapatkan nomor karena antrian sudah panjang. Yu Yuan hanya bisa duduk sendiri dikursi yang panjang untuk menutupi hidungnya. Darah yang keluar dari hidungnya bagaikan air yang terus mengalir dan memerahi lantai. Karena papanya merasa tidak enak kemudian mengambil sebuah baskom kecil untuk menampung darah yang keluar dari hidung Yu Yuan. Tidak sampai sepuluh menit, baskom yang kecil tersebut sudah penuh berisi darah yang keluar dari hidung Yu Yuan.

Dokter yang melihat keadaaan ini cepat-cepat membawa Yu Yuan untuk diperiksa. Setelah diperiksa, dokter menyatakan bahwa Yu Yuan terkena Leukimia ganas. Pengobatan penyakit tersebut sangat mahal yang memerlukan biaya sebesar 300.000 $. Papanya mulai cemas melihat anaknya yang terbaring lemah di ranjang. Papanya hanya memiliki satu niat yaitu menyelamatkan anaknya. Dengan berbagai cara meminjam uang kesanak saudara dan teman dan ternyata, uang yang terkumpul sangatlah sedikit. Papanya akhirnya mengambil keputusan untuk menjual rumahnya yang merupakan harta satu satunya. Tapi karena rumahnya terlalu kumuh, dalam waktu yang singkat tidak bisa menemukan seorang pembeli.

Melihat mata papanya yang sedih dan pipi yang kian hari kian kurus. Dalam hati Yu Yuan merasa sedih. Pada suatu hari Yu Yuan menarik tangan papanya, air mata pun mengalir dikala kata-kata belum sempat terlontar. “Papa saya ingin mati”. Papanya dengan pandangan yang kaget melihat Yu Yuan, “Kamu baru berumur 8 tahun kenapa mau mati”. “Saya adalah anak yang dipungut, semua orang berkata nyawa saya tak berharga, tidaklah cocok dengan penyakit ini, biarlah saya keluar dari rumah sakit ini.”

Pada tanggal 18 juni, Yu Yuan mewakili papanya yang tidak mengenal huruf, menandatangani surat keterangan pelepasan perawatan. Anak yang berumur delapan tahun itu pun mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan pemakamannya sendiri. Hari itu juga setelah pulang kerumah, Yu Yuan yang sejak kecil tidak pernah memiliki permintaan, hari itu meminta dua permohonan kepada papanya. Dia ingin memakai baju baru dan berfoto. Yu Yuan berkata kepada papanya: “Setelah saya tidak ada, kalau papa merindukan saya lihatlah melihat foto ini”. Hari kedua, papanya menyuruh bibi menemani Yu Yuan pergi ke kota dan membeli baju baru. Yu Yuan sendirilah yang memilih baju yang dibelinya. Bibinya memilihkan satu rok yang berwarna putih dengan corak bintik-bintik merah. Begitu mencoba dan tidak rela melepaskannya. Kemudian mereka bertiga tiba di sebuah studio foto. Yu Yuan kemudia memakai baju barunya dengan pose secantik mungkin berjuang untuk tersenyum. Bagaimanapun ia berusaha tersenyum, pada akhirnya juga tidak bisa menahan air matanya yang mengalir keluar. Kalau bukan karena seorang wartawan Chuan Yuan yang bekerja di surat kabar Cheng Du Wan Bao, Yu Yuan akan seperti selembar daun yang lepas dari pohon dan hilang ditiup angin.

Setelah mengetahui keadaan Yu Yuan dari rumah sakit, Chuan Yuan kemudian menuliskan sebuah laporan, menceritakan kisah Yu Yuan secara detail. Cerita tentang anak yg berumur 8 tahun mengatur pemakamakannya sendiri dan akhirnya menyebar keseluruh kota Rong Cheng. Banyak orang-orang yang tergugah oleh seorang anak kecil yang sakit ini, dari ibu kota sampai satu Negara bahkan sampai keseluruh dunia. Mereka mengirim email ke seluruh dunia untuk menggalang dana bagi anak ini”. Dunia yang damai ini menjadi suara panggilan yang sangat kuat bagi setiap orang.

Hanya dalam waktu sepuluh hari, dari perkumpulan orang Chinese didunia saja telah mengumpulkan 560.000 dolar. Biaya operasi pun telah tercukupi. Titik kehidupan Yu Yuan sekali lagi dihidupkan oleh cinta kasih semua orang.

Setelah itu, pengumuman penggalangan dana dihentikan tetapi dana terus mengalir dari seluruh dunia. Dana pun telah tersedia dan para dokter sudah ada untuk mengobati Yu Yuan. Satu demi satu gerbang kesulitan pengobatan juga telah dilewati. Semua orang menunggu hari suksesnya Yu Yuan.

Ada seorang teman di-email bahkan menulis: “Yu Yuan anakku yang tercinta saya mengharapkan kesembuhanmu dan keluar dari rumah sakit. Saya mendoakanmu cepat kembali ke sekolah. Saya mendambakanmu bisa tumbuh besar dan sehat. Yu Yuan anakku tercinta.”

Pada tanggal 21 Juni, Yu Yuan yang telah melepaskan pengobatan dan menunggu kematian akhirnya dibawa kembali ke ibu kota. Dana yang sudah terkumpul, membuat jiwa yang lemah ini memiliki harapan dan alasan untuk terus bertahan hidup. Yu Yuan akhirnya menerima pengobatan dan dia sangat menderita didalam sebuah pintu kaca tempat dia berobat. Yu Yuan kemudian berbaring di ranjang untuk diinfus. Ketegaran anak kecil ini membuat semua orang kagum padanya. Dokter yang menangani dia, Shii Min berkata, dalam perjalanan proses terapi akan mendatangkan mual yang sangat hebat. Pada permulaan terapi Yu Yuan sering sekali muntah. Tetapi Yu Yuan tidak pernah mengeluh. Pada saat pertama kali melakukan pemeriksaan sumsum tulang belakang, jarum suntik ditusukkan dari depan dadanya, tetapi Yu Yuan tidak menangis dan juga tidak berteriak, bahkan tidak meneteskan air mata. Yu yuan yang dari dari lahir sampai maut menjemput tidak pernah mendapat kasih sayang seorang ibu. Pada saat dokter Shii Min menawarkan Yu Yuan untuk menjadi anak perermpuannya. Air mata Yu Yuan pun mengalir tak terbendung.

Hari kedua saat dokter Shii Min datang, Yu Yuan dengan malu-malu memanggil dengan sebutan Shii Mama. Pertama kalinya mendengar suara itu, Shii Min kaget, dan kemudian dengan tersenyum dan menjawab, “Anak yang baik”. Semua orang mendambakan sebuah keajaiban dan menunggu momen dimana Yu Yuan hidup dan sembuh kembali. Banyak masyarakat datang untuk menjenguk Yu Yuan dan banyak orang menanyakan kabar Yu Yuan dari email. Selama dua bulan Yu Yuan melakukan terapi dan telah berjuang menerobos sembilan pintu maut. Pernah mengalami pendarahan dipencernaan dan selalu selamat dari bencana. Sampai akhirnya darah putih dari tubuh Yu Yuan sudah bisa terkontrol. Semua orang-orang pun menunggu kabar baik dari kesembuhan Yu Yuan.

Tetapi efek samping yang dikeluarkan oleh obat-obat terapi sangatlah menakutkan, apalagi dibandingkan dengan anak-anak leukemia yang lain. Fisik Yu Yuan jauh sangat lemah. Setelah melewati operasi tersebut fisik Yu Yuan semakin lemah.

Pada tanggal 20 agustus, Yu Yuan bertanya kepada wartawan Fu Yuan: “Tante kenapa mereka mau menyumbang dana untuk saya? Tanya Yu Yuan kepada wartawan tersebut. Wartawan tersebut menjawab, karena mereka semua adalah orang yang baik hati”. Yu Yuan kemudia berkata : “Tante saya juga mau menjadi orang yang baik hati”. Wartawan itupun menjawab, “Kamu memang orang yang baik. Orang baik harus saling membantu agar bisa berubah menjadi semakin baik”. Yu yuan dari bawah bantal tidurnya mengambil sebuah buku, dan diberikan kepada ke Fu Yuan. “Tante ini adalah surat wasiat saya.”

Fu yuan kaget, sekali membuka dan melihat surat tersebut ternyata Yu Yuan telah mengatur tentang pengaturan pemakamannya sendiri. Ini adalah seorang anak yang berumur delapan tahun yang sedang menghadapi sebuah kematian dan diatas ranjang menulis tiga halaman surat wasiat dan dibagi menjadi enam bagian, dengan pembukaan, tante Fu Yuan, dan diakhiri dengan selamat tinggal tante Fu Yuan.

Dalam satu artikel itu nama Fu Yuan muncul tujuh kali dan masih ada sembilan sebutan singkat tante wartawan. Dibelakang ada enam belas sebutan dan ini adalah kata setelah Yu Yuan meninggal. Tolong,….. .. Dan dia juga ingin menyatakan terima kasih serta selamat tinggal kepada orang- orang yang selama ini telah memperhatikan dia lewat surat kabar. “Sampai jumpa tante, kita berjumpa lagi dalam mimpi. Tolong jaga papa saya. Dan sedikit dari dana pengobatan ini bisa dibagikan kepada sekolah saya. Dan katakana ini juga pada pemimpin palang merah. Setelah saya meninggal, biaya pengobatan itu dibagikan kepada orang-orang yang sakit seperti saya. Biar mereka lekas sembuh”. Surat wasiat ini membuat Fu Yuan tidak bisa menahan tangis yang membasahi pipinya.

Saya pernah datang, saya sangat patuh, demikianlah kata-kata yang keluar dari bibir Yu Yuan. Pada tanggal 22 agustus, karena pendarahan dipencernaan hampir satu bulan, Yu Yuan tidak bisa makan dan hanya bisa mengandalkan infus untuk bertahan hidup. Mula mulanya berusaha mencuri makan, Yu Yuan mengambil mie instant dan memakannya. Hal ini membuat pendarahan di pencernaan Yu Yuan semakin parah. Dokter dan perawat pun secepatnya memberikan pertolongan darurat dan memberi infus dan transfer darah setelah melihat pendarahan Yu Yuan yang sangat hebat. Dokter dan para perawat pun ikut menangis. Semua orang ingin membantu meringankan pederitaannya. Tetapi tetap tidak bisa membantunya. Yu Yuan yang telah menderita karena penyakit tersebut akhirnya meninggal dengan tenang. Semua orang tidak bisa menerima kenyataan ini melihat malaikat kecil yang cantik yang suci bagaikan air. Sungguh telah pergi kedunia lain.

Dikecamatan She Chuan, sebuah email pun dipenuhi tangisan menghantar kepergian Yu Yuan. Banyak yang mengirimkan ucapan turut berduka cita dengan karangan bunga yang ditumupuk setinggi gunung. Ada seorang pemuda berkata dengan pelan “Anak kecil, kamu sebenarnya adalah malaikat kecil diatas langit, kepakanlah kedua sayapmu. Terbanglah.. ……… ….” demikian kata-kata dari seorang pemuda tersebut.

Pada tanggal 26 Agustus, pemakaman Yu Yuan dilaksanakan saat hujan gerimis. Didepan rumah duka, banyak orang-orang berdiri dan menangis mengantar kepergian Yu Yuan. Mereka adalah papa mama Yu Yuan yang tidak dikenal oleh Yu Yuan semasa hidupnya. Demi Yu Yuan yang menderita karena leukemia dan melepaskan pengobatan demi orang lain, maka datanglah papa mama dari berbagai daerah yang diam-diam mengantarkan kepergian Yu Yuan.

Didepan kuburannya terdapat selembar foto Yu Yuan yang sedang tertawa. Diatas batu nisannya tertulis, “Aku pernah datang dan aku sangat patuh” (30 nov 1996- 22 agus 2005). Dan dibelakangnya terukir perjalanan singkat riwayat hidup Yu Yuan. Dua kalimat terakhir adalah disaat dia masih hidup telah menerima kehangatan dari dunia. Beristirahatlah gadis kecilku, nirwana akan menjadi lebih ceria dengan adanya dirimu.

Sesuai pesan dari Yu Yuan, sisa dana 540.000 dolar tersebut disumbangkan kepada anak-anak penderita luekimia lainnya. Tujuh anak yang menerima bantuan dana Yu Yuan itu adalah : Shii Li, Huang Zhi Qiang, Liu Ling Lu, Zhang Yu Jie, Gao Jian, Wang Jie. Tujuh anak kecil yang kasihan ini semua berasal dari keluarga tidak mampu. Mereka adalah anak-anak miskin yang berjuang melawan kematian.

Pada tanggal 24 September, anak pertama yang menerima bantuan dari Yu Yuan di rumah sakit Hua Xi berhasil melakukan operasi. Senyuman yang mengambang pun terlukis diraut wajah anak tersebut. “Saya telah menerima bantuan dari kehidupan Anda, terima kasih adik Yu Yuan kamu pasti sedang melihat kami diatas sana. Jangan risau, kelak di batu nisan, kami juga akan mengukirnya dengan kata-kata “Aku pernah datang dan aku sangat patuh”.

Kesimpulan:

Demikianlah sebuah kisah yang sangat menggugah hati kita. Seorang anak kecil yang berjuang bertahan hidup dan akhirnya harus menghadapi kematian akibat sakit yang dideritanya. Dengan kepolosan dan ketulusan serta baktinya kepada orang tuanya, akhirnya mendapatkan respon yang luar biasa dari kalangan Dunia. Walaupun hidup serba kekuarangan, Dia bisa memberikan kasihnya terhadap sesama. Inilah contoh yang seharusnya kita pun mampu melakukan hal yang sama, berbuat sesuatu yang bermakna bagi sesama, memberikan sedikit kehangatan dan perhatian kepada orang yang membutuhkan. Pribadi dan hati seperti inilah yang dinamakan pribadi seorang Pengasih. Jadikan ini sebuah hikmah bagi kita dan jangan pernah lelah untuk berbuat baik karena yang pasti berbuat baik itu akan membuat hidup ini menjadi barokah amin….

Kalung Mutiara

Alkisah ada seorang gadis cantik, kecil

berusia 5 tahun, bermata indah. Suatu hari, ketika ia dan ibunya sedang berbelanja bulanan, gadis cilik itu melihat sebuah kalung mutiara tiruan. Indah, meskipun harganya cuma 2.5 dolar. Ia sangat ingin memiliki kalung tersebut, dan mulai merengek kepada ibunya Akhirnya sang Ibu setuju, katanya: “Baiklah, anakku. Tetapi ingatlah bahwa meskipun kalung itu sangat mahal, ibu akan membelikannya untukmu. Nanti, sesampai di rumah, kita buat daftar pekerjaan yang harus kamu lakukan sebagai gantinya. Dan, biasanya kan Nenek selalu memberimu uang pada hari ulang tahunmu. Itu juga harus kamu berikan kepada ibu.” “Okay,” kata si gadis setuju. Merekapun lalu membeli kalung tersebut. Setiap hari, sang gadis dengan rajin mengerjakan pekerjaan yang ditulis dalam daftar oleh ibunya. Uang yang diberikan oleh neneknya pada hari ulangtahunnya juga diberikannya kepada ibunya. Tidak berapa lama, perjanjiannya dengan ibunya pun selesai. Ia mulai memakai kalung barunya dengan rasa sangat bangga. Ia pakai kalung itu kemanapun ia pergi. Ke sekolah taman kanak-kanaknya, ke gereja, ke supermarket, bermain, dan tidur, kecuali mandi. “Nanti lehermu jadi hijau,” kata ibunya. Dia juga memiliki seorang ayah yang sangat menyayanginya. Setiap menjelang tidur, sang ayah akan membacakan sebuah buku cerita untuknya. Suatu hari, seusai membacakan cerita, sang ayah bertanya kepadanya: “Anakku, apakah kamu sayang ayah?” “Pasti, yah. Ayah tahu betapa aku menyayangi ayah.” “Kalau kau memang mencintai ayah, berikanlah kalung mutiaramu pada ayah.” “Ya, ayah, jangan kalung ini. Ayah boleh ambil mainanku yang lain. Ayah boleh ambil Rosie, bonekaku yang terbagus. Ayah juga ambil pakaian-pakaiannya yang terbaru. Tapi, jangan ayah ambil kalungku.” “Ya, anakku, tidak apa-apa. Tidurlah.” Sang Ayah lalu mencium keningnya dan pergi, sambil berkata: “Selamat malam, anakku. Semoga mimpi indah.” Seminggu kemudian, setelah membacakan cerita, ayahnya bertanya lagi: “Anakku, apakah kamu sayang ayah?” “Pasti, Yah. Ayah kan tahu aku sangat mencintaimu.” “Kalau begitu, boleh ayah minta kalungmu?” “Ya, jangan kalungku, dong. Ayah ambil Ribbons, kuda-kudaanku. Ayah masih ingat, kan? Itu mainan favoritku. Rambutku panjang, lembut. Ayah bisa memainkan rambutnya, mengepangnya, dan sebagainya. Ambillah, Yah. Asal ayah jangan minta kalungku. Ya?” “Sudahlah, nak. Lupakanlah,” kata sang ayah. Beberapa hari setelah itu, Si gadis cilik terus berpikir, kenapa ayahnya selalu meminta kalungnya, dan kenapa ayahnya selalu menanyai apakah ia sayang padanya atau tidak. Beberapa hari kemudian, ketika ayahnya membacakan cerita, dia duduk dengan resah. Ketika ayahnya selesai membacakan cerita, dengan bibir bergetar ia mengulurkan tangannya yang mungil kepada ayahnya, sambil berkata: “Ayah, terimalah ini”. Ia lepaskan kalung kesayangannya dari genggamannya, dan ia melihat dengan penuh kesedihan, kalung tersebut berpidah ke tangan sang ayah. Dengan satu tangan menggenggam kalung mutiara palsu Kesayangan anaknya, tangan yang lainnya mengambil sebuah kotak beludru biru kecil dari kantong bajunya. Di dalam kotak beludru itu terletak seuntai kalung mutiara yang asli, sangat indah, dan sangat mahal. Ia telah menyimpannya begitu lama, untuk anak yang dikasihinya. Ia menunggu dan menunggu agar anaknya mau melepaskan kalung mutiara plastiknya yang murah, sehingga ia dapat memberikan kepadanya kalung mutiara yang asli. Begitu pula dengan Bapa di Surga. Seringkali Ia menunggu lama sekali agar kita mau menyerahkan segala milik kita yang palsu dan menukarnya dengan sesuatu yang sangat berharga.

Kisah sedih seorang Anak kecil kehilangan Tangan Karena mencoret mobil ayahnya

Ayah, maafkan Dita

Sepasang suami istri (seperti pasangan lain di kota2 besar meninggalkan anak2 diasuh pembantu rumah tangga sewaktu bekerja).
Anak tunggal pasangan ini, perempuan cantik berusia tiga setengah tahun. Ia sendirian di rumah dan kerap kali dibiarkan pembantunya karena sibuk bekerja di dapur.

Bermainlah dia bersama ayun-ayunan di atas buaian yang dibeli ayahnya, ataupun memetik bunga dan lain-lain di halaman rumahnya.

Suatu hari dia melihat sebatang paku karat. Dan ia pun mencoret lantai tempat mobil ayahnya diparkirkan, tetapi karena lantainya terbuat dari marmer maka coretan tidak kelihatan. Dicobanya lagi pada mobil baru ayahnya. Ya...karena mobil itu berwarna gelap, maka coretannya tampak jelas. Apalagi anak ini pun membuat coretan sesuai dengan kreativitasnya.

Hari itu ayah dan ibunya bermotor ke tempat kerja karena ingin menghindari macet. Setelah sebelah kanan mobil sudah penuh coretan maka ia beralih ke sebelah kiri mobil. Dibuatnya gambar ibu dan ayahnya, gambarnya sendiri, lukisan ayam, kucing dan lain sebagainya mengikuti imajinasinya. Kejadian itu berlangsung tanpa disadari oleh si pembantu rumah.

Saat pulang petang, terkejutlah pasangan suami istri itu melihat mobil yang baru setahun dibeli dengan bayaran angsuran yang masih lama lunasnya. Si bapak yang belum lagi masuk ke rumah ini pun terus menjerit, "Kerjaan siapa ini!!!..."

Pembantu rumah yang tersentak dengan jeritan itu berlari keluar. Dia juga terkejut. Mukanya merah padam ketakutan lebih2 melihat wajah bengis tuannya. Sekali lagi diajukan pertanyaan keras kepadanya, dia terus mengatakan, "Saya tidak tahu..tuan." "Kamu di rumah sepanjang hari, apa saja yang kamu lakukan?" hardik si istri.

Si anak yang mendengar suara ayahnya, tiba-tiba berlari keluar dari kamarnya. Dengan penuh manja dia berkata "Dita yang membuat gambar itu ayahhh..cantik kan..!" katanya sambil memeluk ayahnya sambil bermanja seperti biasa.
Si ayah yang sudah kehilangan kesabaran mengambil sebatang ranting kecil dari pohon di depan rumahnya, terus dipukulkannya berkali-kali ke telapak tangan anaknya. Si anak yang tak mengerti apa-apa menangis kesakitan, pedih sekaligus ketakutan. Puas memukul telapak tangan, si ayah memukul pula belakang tangan anaknya. Sedangkan si ibu cuma mendiamkan saja, seolah merestui dan merasa puas dengan hukuman yang dikenakan.

Pembantu rumah terbengong, tidak tahu harus berbuat apa... Si ayah cukup lama memukul-mukul tangan kanan dan kemudian ganti tangan kiri anaknya. Setelah si ayah masuk ke rumah diikuti si ibu, pembantu rumah tersebut menggendong anak kecil itu, membawanya ke kamar.

Dia terperanjat melihat telapak tangan dan belakang tangan si anak kecil luka2 dan berdarah. Pembantu rumah memandikan anak kecil itu. Sambil menyiramnya dengan air, dia ikut menangis. Anak kecil itu juga menjerit-jerit menahan pedih saat luka2nya itu terkena air. Lalu si pembantu rumah menidurkan anak kecil itu. Si ayah sengaja membiarkan anak itu tidur bersama pembantu rumah. Keesokkan harinya, kedua belah tangan si anak bengkak. Pembantu rumah mengadu ke majikannya. "Oleskan obat saja!" jawab bapak si anak.

Pulang dari kerja, dia tidak memperhatikan anak kecil itu yang menghabiskan waktu di kamar pembantu. Si ayah mau memberi pelajaran pada anaknya. Tiga hari berlalu, si ayah tidak pernah menjenguk anaknya sementara si ibu juga begitu, meski setiap hari bertanya pada pembantu rumah. "Dita demam, Bu"...jawab si pembantu ringkas. Kasih minum Panadol saja," jawab si ibu. Sebelum si ibu masuk kamar tidur, ia menjenguk kamar pembantunya. Saat dilihat anaknya Dita dalam pelukan pembantu rumah, dia menutup lagi pintu kamar pembantunya. Masuk hari keempat, pembantu rumah memberitahukan tuannya bahwa suhu badan Dita terlalu panas. "Sore nanti kita bawa ke klinik..Pukul 5.00 sudah siap" kata majikannya itu. Sampai saatnya si anak yang sudah lemah dibawa ke klinik.
Dokter mengarahkan agar ia dibawa ke rumah sakit karena keadaannya sudah serius. Setelah beberapa hari di rawat inap, dokter memanggil bapak dan ibu anak itu. "Tidak ada pilihan..." kata dokter tersebut yang mengusulkan agar kedua tangan anak itu dipotong karena sakitnya sudah terlalu parah dan infeksi akut... "Ini sudah bernanah, demi menyelamatkan nyawanya maka kedua tangannya harus dipotong dari siku ke bawah" kata dokter itu. Si bapak dan ibu bagaikan terkena halilintar mendengar kata-kata itu. Terasa dunia berhenti berputar, tapi apa yang dapat dikatakan lagi...

Si ibu meraung merangkul si anak. Dengan berat hati dan lelehan air mata istrinya, si ayah bergetar tangannya menandatangani surat persetujuan pembedahan. Keluar dari ruang bedah, selepas obat bius yang disuntikkan habis, si anak menangis kesakitan. Dia juga keheranan melihat kedua tangannya berbalut kasa putih. Ditatapnya muka ayah dan ibunya. Kemudian ke wajah pembantu rumah. Dia mengerutkan dahi melihat mereka semua menangis. Dalam siksaan menahan sakit, si anak bersuara dalam linangan air mata. "Ayah..ibu..Dita tidak akan melakukannya lagi... Dita tidak mau lagi ayah pukul. Dita tidak mau jahat lagi...Dita sayang ayah...sayang ibu.", katanya berulang kali membuat si ibu gagal menahan rasa sedihnya. "Dita juga sayang Mbok Narti.." katanya memandang wajah pembantu rumah, sekaligus membuat wanita itu meraung histeris.

"Ayah...kembalikan tangan Dita. Untuk apa diambil? Dita janji tidak akan mengulanginya lagi! Bagaimana caranya Dita mau makan nanti?.. Bagaimana caranya Dita mau bermain nanti?.. Dita janji tidak akan mencoret-coret mobil lagi." katanya berulang-ulang.
Serasa hancur hati si ibu mendengar kata2 anaknya. Meraung-raung dia sekuat hati namun apa yang sudah terjadi tiada manusia dapat menahannya. Nasi sudah menjadi bubur. Pada akhirnya si anak cantik itu meneruskan hidupnya tanpa kedua tangan dan ia masih belum mengerti mengapa tangannya tetap harus dipotong meski ia sudah meminta maaf.

Tahun demi tahun kedua orang tua tersebut menahan kepedihan dan kehancuran batin sampai suatu saat sang Ayah tak kuat lagi menahan kepedihannya dan ia wafat diiringi tangis penyesalan yang tak bertepi.

Namun...si anak dengan segala keterbatasannya dan kekurangannya tersebut tetap hidup tegar bahkan sangat sayang dan selalu merindukan ayahnya...